Pages

Senin, 28 Februari 2011

Prospek Pengolahan Hasil Samping Buah Kelapa


ABSTRAK
Daging buah adalah komponen utama dari buah kelapa; sedangkan sabut, tempurung, dan air buah merupakan hasil samping (by-product). Dengan produksi buah kelapa di Indonesia rata-rata 15,5 milyar butir/tahun, total bahan ikutan yang dapat diperoleh 3,75 juta ton air, 0,75 juta ton arang tempurung, 1,8 juta ton serat sabut, dan 3,3 juta ton debu sabut sebagai hasil samping. Kelayakan usaha pengolahan hasil samping buah kelapa sangat menjanjikan bila direncanakan dan dikelola dengan baik. Berdasarkan analisis finansial tahun 2004, B/C dan IRR pengolahan sabut menjadi serat dan debu sabut selama 10 tahun adalah 3,58 dan 76%; tempurung menjadi arang selama 5 tahun 1,11 dan 23%; dan air kelapa menjadi nata de coco selama 5 tahun 1,32 dan 32%. Pengembangan industri pengolahan hasil samping harus ditunjang oleh kelayakan teknis terutama ketersediaan pasokan bahan baku dan pemasaran, serta alat pengolahan yangsesuai untuk pengolahan sabut. Untuk mendapatkan bahan baku yang cukup bagi pengolahan sabut diperlukan areal kelapa seluas 300 ha. Pengolahan sabut ini harus dipadukan dengan pengolahan debu sabut menjadi kompos sehingga diperoleh pendapatan tambahan. Untuk memproduksi 1 ton serat sabut diperoleh sekitar 5 ton debu sabut. Lokasi pengolahan hasil samping sebaiknya di sekitar sumber bahan baku dan untuk menjamin kontinuitas pengadaan dan pemasaran produk disarankan usaha-usaha tersebut dalam bentuk usaha bersama.

Kata kunci: Kelapa, Cocos nucifera L., pengolahan, hasil samping

ABSTRACT
PROSPECT OF COCONUT BY-PRODUCT PROCESSING

Coconut meat is the main component of coconut, while the coconut husk, shell, and water are considered as by-product. With the coconut production in Indonesia at average of 15.5 billion coconuts per year, the total by-product is accumulated to 3.75 million tons coconut water, 0.75 million tons shell charcoal, 1.8 million tons coconut fiber, and 3.3 million tons coir dust. Business in coconut by-product processing is condidered to be prospective as long as it is planned and managed properly. Based on the financial analysis in 2004, the B/C and IRR of coconut husk processing into coconut fiber and coir dust for 10 years were 3.58 and 76%, coconut shell into shell charcoal for 5 years was 1.11 and 23%; and coconut water into nata de coco for 5 years was 1.32 and 32%. The industry of coconut by-product processing should be supported by technical feasibilty, mainly the raw material availability, market,and appropriate coconut husk machinery. To provide
sufficient raw material for coconut husk processing, it needs about 300 ha of coconut plantation. Furthermore, to abtain additional farmer’s income the coconut husk processing should be integrated with coir dust processing into compost, so that it can earn additional income. To produce one ton of coconut fiber will produce 5 tons of coir dust. It suggested that the location of coconut by-product processing is better closed to the raw material source, and to secure the continuity of raw material supply and product marketing the business should be run in the form of cooperation.
Key words: Coconut, Cocos nucifera L., processing, by product

PENDAHULUAN
Produksi buah kelapa Indonesia rata-rata 15,5 milyar butir/tahun atau setara dengan  3,02 juta ton kopra,  3,75 juta ton air, 0,75 juta ton arang tempurung, 1,8 juta ton serat sabut, dan  3,3 juta ton debu sabut (Agustian  et al., 2003; Allorerung dan Lay, 1998; Anonim, 2000; Nur et al., 2003; APCC, 2003). Industri pengolahan buah kelapa umumnya masih terfokus kepada pengolahan hasil daging buah sebagai hasil utama, sedangkan industri yang mengolah  hasil samping buah  (by-product) seperti; air , sabut, dan tempurung kelapa masih secara tradisional dan bahan baku untuk membangun industri  pengolahannya masih sangat besar. Tidak hanya dari segi jumlah, dari segi jenis produk hilirpun, pengolahan hasil buah kelapa juga  masih mempunyaipeluang cukup besar.
Daging buah kelapa yang selama ini hanya diolah menjadi kopra, crude coconut oil (CCO), dan minyak goreng, mempunyai peluang dikembang-kan menjadi industri  oleochemical, oleofood,  desicated coconut,  dan lain-lain produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Rumokoi dan Akuba, 1998; BNI 1946, 1990). Demikian juga halnya dengan hasil samping buah, sabut menjadi industri serat sabut, cocopeat, tempurung menjadi tepung tempurung, karbon aktif, dan air kelapa menjadi nata de coco. Bahan tersebut merupakan bahan baku pada industri; matras, kasur, pot, kompos kering, aneka makanan dan lain sebagainya (Richtler dan Knaut, 1984; Istina et al., 2003.).
Kalau hanya memfokuskan pengolahan buah kelapa pada daging buah saja menyebabkan harga kelapa tertinggi hanya mencapai rata-rata Rp 1.500,-/butir, yang artinya pendapatan petani kelapa dengan kepemilikan rata-rata 0,5 ha hanya
mencapai Rp 3.750.000,-/tahun, pendapatan yang  sangat rendah untuk petani dapat hidup layak. Salah satu usaha untuk meningkatkan pen-dapatan petani kelapa adalah dengan mengolah semua komponen buah  menjadi produk yang bernilai tinggi, sehingga nilai buah kelapa akan meningkat. Sebagai contoh tempurung kelapa, kalau diolah menjadi arang tempurung  harganya  US$ 175/ton, kalau diolah menjadi  arang aktif harganya mencapai US$ 742/ton, ini berarti peningkatan nilai arang tempurung  ke arang aktif sebesar US$ 567/ton atau 324% (PKAO, 1989). Dengan demikian nilai ekonomi kelapa tidak lagi berbasis kopra (daging buah), seperti di Philipina, dari total ekspornya (US$ 920 juta)  49% diantaranya berasal bukan dari CCO tetapi dari hasil olahan lain termasuk pengolahan hasil samping(Allorerung et al., 1998).
Dari data yang dihimpun oleh Asia Pasific Coconut Community (APCC, 2001) bahwa konsumsi kelapa segar dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia mencapai 8,15 milyar butir (52,6%), dengan konsumsi  per kapita per tahun sebanyak 37 butir. Sisanya sebanyak 7,35 milyar butir (47,4%) diolah menjadi  1,43 juta ton kopra (Agustian  et al., 2003; Rindengan dan Karaow, 2003). Dari 1,43 juta ton kopra di atas 85-90% diolah menjadi  crude coconut oil  (CCO)  dan
sisanya (10-15%) untuk olahan lanjutan. Dari angka-angka ini menunjukkan bahwa kegunaan buah kelapa beragam dengan pengguna yang juga tersebar. Hal ini menyebabkan bahan baku hasil samping kelapa tersebar, sehingga memerlukan strategi, kelembagaan dan implikasi yang tepat  untuk membangun industri hilir tersebut.
Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan beberapa program diversifikasi di pedesaan untuk menghasilkan produk setengah jadi dari hasil samping buah kelapa seperti arang tempurung, serat sabut, cocopeat, nata de coco,
yang dapat dikaitkan dengan industri bertek-nologi tinggi untuk selanjutnya diolah sesuai dengan mutu dan jenis produk untuk memenuhi pasar internasional serta strategi, bentuk kelem-bagaan dan implikasi program diversifikasi produk tersebut.
Buah Kelapa
Tanaman kelapa disebut juga tanaman serbaguna, karena dari akar sampai ke daun kelapa bermanfaat, demikian juga dengan buahnya. Buah adalah bagian utama dari tanaman kelapa yang berperan sebagai bahan baku industri. Buah kelapa terdiri dari beberapa komponen yaitu sabut kelapa, tempurung kelapa, daging buah kelapa dan air kelapa.
Daging buah adalah komponen utama yang dapat diolah menjadi berbagai produk bernilai ekonomi tinggi. Sedangkan air, tempurung, dan sabut sebagai hasil samping (by product) dari buah kelapa juga dapat diolah menjadi berbagai produk yang nilai ekonominya tidak kalah dengan daging buah (Lay dan Pasang, 2003; Maurits, 2003; Nur et al., 2003). Berbagai produk dapat dihasilkan dari buah kelapa (Gambar 1.)

Gambar 1. Berbagai produk yang dihasilkan dari buah kelapa

Mutu bahan baku dari buah kelapa dipengaruhi oleh karakter fisiko-kimia komponen buah kelapa, yang secara langsung dipengaruhi oleh jenis dan umur buah kelapa; secara tidak langsung oleh lingkungan tumbuh dan pemeliharaan. Lingkungan tumbuh yang sesuai dan pemeliharaan yang baik akan menghasilkan
bahan baku bermutu untuk diolah lebih lanjut (Rindengan et al., 1995; Tenda et al., 1999).
Secara umum, kelapa terdiri atas tiga jenis, yaitu kelapa Dalam, kelapa Genjah, dan kelapa Hibrida. Ketiga jenis kelapa ini berbeda saat mulai berbuah, jumlah produksi buah, dan komposisi kimia buah. Faktor yang sangat mempengaruhi mutu bahan baku hasil samping kelapa adalah komposisi kimia buah.
Kelapa
Dalam kandungan selulosa, pentosa, lignin, dan arang, pada tempurung serta sabut lebih tinggi dari pada kelapa Genjah dan Hibrida, sedangkan kelapa Genjah dan Hibrida kadar abunya yang lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan untuk industri arang dan serat sabut mutu  buah kelapa dalam lebih baik dibandingkan dengan buah kelapa Genjah dan Hibrida. Untuk industri air kelapa ke tiga jenis kelapa ini tidak jauh berbeda. 
Umur buah menunjukkan tingkat pertumbuhan buah kelapa, dimulai pada bulan ketiga, berat buah maksimum dicapai pada bulan ke tujuh, sedangkan volume pada bulan ke delapan. Tempurung terbentuk pada bulan ke tiga dan mencapai maksimum pada bulan ke sembilan. Daging buah mulai terlihat pada bulan ketujuh dan mencapai berat maksimum pada bulan ke duabelas. Pada bulan ke tujuh pada saat berat buah maksimum proporsi komponen buah terdiri atas 62% sabut, 7% tempurung, 1% daging buah, sisanya adalah air. Pada saat panen (12 bulan), proporsi berat basah sabut 56%, tempurung 17%, daging buah 27%; proporsi berat kering sabut 42%, tempurung 28%, dan daging buah 30% (Rindengan et al.,1995).
Mutu tertinggi dari produk hasil samping akan tercapai pada saat umur buah 13 bulan terkecuali untuk nata de coco, pada umur demikian pertumbuhan buah sudah berhenti, kadar air pada sabut sudah turun dan kandungan abu juga rendah. Sedangkan untuk nata de coco pada umur 13 bulan kandungan minyak pada air kelapa mulai meningkat yang menyebabkan rendahnya mutu nata de coco.

PRODUK HASIL SAMPING BUAH KELAPA
Produk dari Sabut 
Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri atas lapisan terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium). Endocarpium mengandung serat-serat halus yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat tali, karung, pulp, karpet, sikat, keset, isolator panas dan suara, filter, bahan pengisi jok kursi/mobil dan papan hardboard. Satu butir buah kelapa menghasilkan 0,4 kg sabut yang mengandung 30% serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas, arang, ter, tannin, dan potasium (Rindengan et al., 1995)
India dan Sri Lanka adalah produsen terbesar produk-produk dari sabut dengan volume ekspor tahun 2000 masing-masing 55.352 ton dan 127.296 ton dan masing-masing terdiri atas 6 dan 7 macam produk seperti terlihat pada Gambar 2. Pada saat yang sama, Indonesia hanya mengekspor satu jenis produk (berupa serat mentah) dengan volume 102 ton. Angka ini menurun tajam dibandingkan ekspor tertinggi pada tahun 1996 yang mencapai 866 ton (Ditjenbun, 2002; BPS, 2002).

Gambar 2. Produk turunan dari pengolahan sabut kelapa
Produk primer dari pengolahan sabutkelapa terdiri atas serat (serat panjang),  bristle(serat halus dan pendek), dan debu abut. Seratdapat diproses menjadi serat berkaret, matras,geotextile, karpet, dan produk-produk kerajinan/industri rumah tangga. Matras dan serat berkaretbanyak digunakan dalam industri jok, kasur, danpelapis panas. Debu sabut dapat diproses jadikompos dan cocopeat, dan particle board/hardboard.Cocopeat  digunakan  sebagai  substitusi  gambutalam untuk industri bunga dan pelapis lapangangolf. Di samping itu, bersama bristle dapat diolahmenjadi hardboard (Nur et al., 2003; Allorerung etal., 1998). Permintaan cocopeat diperkirakan akanmeningkat tajam karena di samping tekanan isulingkungan yang berkait dengan penggunaangambut alam juga karena mutu produk yangternyata lebih baikdaripada gambut alam. Eksporserat sabut Indonesia pernah mencapai 866 ton,sedangkan 2 tahun terakhir hanya mencapai 191ton/tahun. Sedangkan  cocopeat  datanya  belumtersedia, namun sebagai gambaran, setiapmemproduksi serat sabut sebanyak 1 tonbersamaan dengan itu dihasilkan 1,8  cocopeat.Harga cocopeat Rp. 400,-/kg.             

Produk dari Tempurung
Berat dan tebal tempurung sangat ditentu-kan oleh jenis tanaman kelapa. Kelapa dalam mempunyai tempurung yang lebih berat dantebal daripada kelapa Hibrida dan kelapa Genjah.Tempurung beratnya sekitar 15-19% bobot buahkelapa dengan ketebalan 3-5 mm. Komposisikimia tempurung terdiri atas; Selulosa 26,60%,Pentosan 27,70%, Lignin 29,40%, Abu 0,60%,Solvent ekstraktif 4,20%, Uronat anhidrat 3,50%,Nitrogen 0,11%, dan air 8,00% (Ibnusantoso,2001).
Tempurung kelapa yang dulu hanya digunakan sebagai bahan bakar, sekarang sudahmerupakan bahan baku industri cukup penting. Produk yang dihasilkan dari pengolahan tempurung adalah arang, arang aktif, tepung tempurung dan barang kerajinan. Arang aktif dari tempurung kelapa memiliki daya saing yang kuat karena mutunya tinggi dan tergolong sumber daya yang terbarukan.   Selain digunakan dalam industri farmasi, pertambangan, dan penjernihan, arang aktif juga digunakan untuk penyaring atau penjernih ruangan untuk menyerap polusi dan bau tidak  sedap dalam ruangan. Berdasarkan data ekspor tahun 2003, Indonesia ternyata lebih banyak mengekspor dalam bentuk arang tempurung (56%), sedangkan negara lain dalam bentuk arang aktif (APCC, 2000; APCC, 2001; APCC, 2003).
Peningkatan ekspor arang tempurung dan arang  aktif dalam kurun waktu 10 tahun terakhir  masing-masing 13,86% untuk arang tempurung  dan 6,1% untuk arang aktif. Jumlah ekspor saat  ini untuk arang tempurung dan arang aktif
masing-masing 29.493 ton dan 11.553 ton.  
Produk dari Air Kelapa
Volume air yang terdapat pada kelapa Dalam sekitar 300 ml, kelapa Hibrida 230 ml, dan kelapa Genjah 150 ml. Air kelapa dimanfaatkan untuk pembuatan minuman ringan, jelly, ragi, alkohol, nata de coco, dextran, anggur, cuka, ethyl acetat, dan sebagainya. Komposisi kimia air kelapa adalah; specific grafity 1,02%, bahan padat 4,71%, gula 2,56%, abu 0,46%, minyak 0,74%, protein 0,55%, dan senyawa khlorida 0,17%.  
Air kelapa yang dapat diolah untuk menghasilkan beberapa produk bernilai ekonomi seperti minuman ringan, cuka, dan nata de coco. Nata de coco sendiri selain sebagai makanan berserat, juga dapat digunakan dalam industri akustik. Saat ini baru nata de coco yang telah berkembang mulai dari skala industri rumah tangga hingga industri besar (Tenda et al., 1999).

KELAYAKAN USAHA HASIL SAMPING BUAH KELAPA
Untuk mengetahui kelayakan usaha secara teknis dan finansial pengolahan hasil samping buah kelapa (sabut, tempurung, dan air kelapa) telah dilakukan pengkajian pemanfaatan industri produk samping hasil perkebunan (kelapa) di Provinsi Lampung, Jawa Barat, dan Sulawesi Utara pada tahun 2004; kerjasama antara Bagian Proyek Pengembangan Pengolahan dan Pema-saran Hasil Perkebunan dengan Koperasi Pegawai Republik Indonesia Tantri Bogor (Mahmud  et al., 2004). Tingkat teknologi agro-industri dalam analisis ini merupakan teknologi sederhana yang dapat diusahakan oleh pekebun kelapa.

Pengolahan Sabut
Analisis finansial agroindustri rakyat sabut kelapa dilakukan dengan asumsi sebagai berikut:
a.  Kapasitas terpasang alat olah sabut kelapa 1.500 butir sabut/hari
b.  Produksi yang dihasilkan adalah sabut kelapa dan debu (cocopeat). Setiap 1 kg sabut membutuhkan 5 butir sabut, dan setiap 1 kg debu sabut membutuhkan 16 butir sabut.
c.  Umur usaha dihitung selama 10 tahun sesuai dengan umur ekonomis mesin dan peralatan pabrik.
d.  Penyusutan dihitung per tahun berdasarkan estimasi umur ekonomis aset yang digunakan dengan metode garis lurus
e.  Modal investasi, harga faktor produksi dan harga jual produk berdasarkan estimasi harga jangka panjang.
f.  Discount rate  yang  digunakan  sebesar  18% sesuai dengan estimasi tingkat suku bunga bank jangka panjang
g.  Pengadaan alat olah sabut melalui modal pinjaman dengan bunga pinjaman sebesar 16% dan konstant selama jangka waktu pengembalian 10 tahun.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan harga bahan baku Rp 50,-/butir sabut dan harga produk sabut Rp 900,- /kg serta harga debu sabut Rp 400,- /kg memberikan B/C ratio 3,58; NPV sebesar Rp 50.408.605,-; dan IRR 76% (Tabel 1).

Tabel 1. Analisis finansial pengolahan sabut tahun 2004  (10 tahun).
Analisis sensitivitas agroindustri ini menunjukkan bahwa dengan asumsi variabel yang lain tetap, harga minimal sabut agar usaha ini tetap layak adalah Rp 750,- /kg. Analisis ini juga menunjukkan bahwa dengan asumsi variabel lain tetap maka kapasitas berjalan minimal sebesar 1.090 butir sabut/hari agar usaha tetap layak. 
Dengan asumsi hari kerja selama 25 hari/ bulan dan 12 bulan/tahun, maka dalam satu tahun diperlukan minimal 327.000 butir sabut. Bahan baku ini dapat dipasok oleh sekitar 5.450 tanaman kelapa menghasilkan, atau sekitar 54,5 ha tanaman kelapa.
Pengolahan Tempurung
Analisis finansial pengolahan tempurung menjadi arang tempurung dilakukan dengan asumsi sebagai berikut:
a.  Analisis dihitung untuk memproses hasil 1 ha kelapa atau sekitar 6.000 butir tempurung kelapa/ tahun.
b.  Produksi yang dihasilkan adalah arang tempurung. Setiap 1 kg arang tempurung membutuhkan 24 butir tempurung kelapa.
c.  Umur usaha dihitung selama 5 tahun sesuai dengan umur ekonomis tempat pembakaran.
d.  Penyusutan dihitung per tahun berdasarkan estimasi umur ekonomis aset yang digunakan dengan metode garis lurus
e.  Modal investasi, harga faktor produksi dan harga jual produk berdasarkan estimasi harga jangka panjang.
f.  Discount rate  yang  digunakan  sebesar  18% sesuai dengan estimasi tingkat suku bunga bank jangka panjang
Perhitungan analisis finansial agroindustri arang tempurung rakyat menunjukkan bahwa dengan harga produk arang tempurung Rp 500,-/ kg  memberikan  B/C  ratio  1,11;  NPV sebesar Rp 69.249,-; dan IRR 23% (Tabel 2).
 Tabel 2. Analisis finansial pengolahan arang tempurung tahun 2004 (5 tahun)

Analisis sensitivitas agroindustri ini menun-jukkan bahwa dengan asumsi variabel yang lain tetap, harga minimal arang tempurung Rp 352,5 / kg agar usaha tetap layak. Analisis ini juga menunjukkan bahwa dengan asumsi variabel lain tetap maka luas areal tanaman kelapa minimal yang diperlukan sebagai pendukung bahan baku sebesar 0,8 ha yang setara dengan 80 tanaman kelapa agar usaha tetap layak.
Kendala yang ada dalam pengembangan industri arang tempurung rakyat adalah masih kecilnya pasar produk arang tempurung ini sehingga jaminan pemasarannya sukar didapat.
Pengolahan Air Kelapa
Analisis finansial pengolahan air kelapa menjadi nata de coco dilakukan dengan asumsi sebagai berikut:
a.  Analisis dihitung untuk memproses hasil 1 ha kelapa atau sekitar 6.000 butir/tahun yang berisi sekitar 996 liter air kelapa.
b.  Produksi yang dihasilkan adalah nata de coco. Setiap 10 liter air kelapa dapat
menghasilkan 6 kg nata de coco.
c.  Umur usaha dihitung selama 5 tahun sesuai dengan umur ekonomis peralatan pembuat nata de coco.
d.  Penyusutan dihitung per tahun berdasarkan estimasi umur ekonomis aset yang digunakan dengan metode garis lurus
e.  Modal investasi, harga faktor produksi dan harga jual produk berdasarkan estimasi harga jangka panjang.
f.  Discount rate  yang  digunakan  sebesar  18% sesuai dengan estimasi tingkat suku bunga bank jangka panjang.
            Perhitungan analisis finansial agroindustri nata de coco rakyat menunjukkan bahwa dengan harga produk nata de coco Rp 2.000 per kg memberikan B/C ratio 1,32; NPV sebesar Rp 953.950; dan IRR 32% (Tabel 3).
Analisis sensitivitas agroindustri ini menunjukkan  bahwa dengan asumsi variabel yang  lain  tetap,   harga  minimal  nata de coco Rp 1.475 / kg agar usaha tetap layak.  Kendala dalam pengembangan agroindustri nata de coco rakyat ini adalah dalam pemasaran retail produk nata yang memerlukan kepercayaan konsumen terhadap produk dan merek dagang produk yang dihasilkan serta keterandalan jaringan pemasaran mengingat konsumen nata de coco ini adalah konsumen akhir. Agroindustri nata de coco rakyat yang ada umumnya hanya skala kecil dengan pasar lokal disekitar lokasi usaha. Untuk itu pengembangan agroindustri nata de coco rakyat ini perlu diiringi dengan perjanjian kerjasama dengan pengusaha besar atau menengah yang telah memiliki merek dagang yangdipercaya konsumen dan jaringan pemasaran yang baik. Agroindustri nata de coco rakyat dapat memasok produk lembaran nata yang selanjutnya diolah oleh pengusaha besar atau menengah.
Tabel 3. Analisis finansial pengolahan nata de coco tahun 2004 (5 tahun)

PENGEMBANGAN USAHA HASIL SAMPING BUAH KELAPA

Rendahnya pendapatan petani kelapa selama ini disebabkan produk yang dihasilkan hanya merupakan produk utama seperti kopra dan kelapa butir. Sementara sebagian besar kopra digunakan untuk kebutuhan bahan baku pengolahan minyak kelapa (CCO) dalam negeri yang perkembangannya tidak pesat; dan kelapa butir untuk memenuhi permintaan konsumsi rumah tangga dan industri lain yang peningkatannya juga tidak terlalu besar. Minyak kelapa sebagian besar di ekspor, tetapi peningkatan permintaan dunia tidak terlalu tinggi, malah sepuluh tahun terakhir stok minyak kelapa dunia mencapai 13,0% - 15,90% atau 386.100–508.100 ton/tahun. Hal ini merupakan salah satu alasan betapa sulitnya industri kelapa untuk berkembang, kalau hanya mengandalkan kopra dan minyak kelapa saja. Philippina, Srilanka, dan India adalah negara-negara yang sudah mengolah lebih hilir produk kelapa, baik produk utamanya (kopra,minyak kelapa, dan kelapa parut kering) maupun hasil samping (sabut tempurung dan air).
Indonesia juga sudah mengolahnya, namun  sebatas produk hasil samping yang masih berupa produk ”intermediate” seperti serat, arang dan nata de coco. Untuk mengembangkan usaha hasil samping buah kelapa di Indonesia, diperlukan strategi, kelembagaan dan implementasi berbagai faktor penunjangnya.

Pengolahan Sabut
Di dalam pengolahan serat sabut, pengem-bangan industri ini haruslah ditunjang dengan kelayakan teknis terutama ketersediaan pasokan bahan baku sabut kelapa. Setiap satu alat pengolah sabut sederhana ini haruslah ditunjang oleh minimal 54,5 ha tanaman kelapa yang setara dengan 5.450 pohon kelapa.  Mendapatkan areal kelapa seluas tersebut di atas dalam satu hamparan sangat sulit, sehingga bahan baku harus dikumpulkan dari areal yang terpencar-pencar dan memerlukan biaya dalam pengumpulannya. Keadaan ini makin sulit dengan beragamnya produk yang dihasilkan petani. Petani yang menghasilkan kopra sebagai produk utamanya tidak akan menyisakan sabut dan tempurung karena digunakan untuk pengasapan kelapa; sehingga yang tersisa hanya air kelapa. Selain itu infrastruktur yang belum baik di setiap lokasi juga merupakan faktor kesulitan dalam pengembangan usaha hasilsamping. 
Bahan baku sabut kelapa diharapkan pada petani yang menjadikan butiran kelapa sebagai produk utamanya, karena kelapa dijual dalam bentuk kelapa tanpa sabut, di mana sabutnya tinggal di areal. Keterangan ini memberi indikasi bahwa luas areal kelapa yang diperlukan untuk memenuhi bahan baku satu unit alat pengolah sabut  dari 5.450 pohon kelapa dapat tersebar pada luas wilayah 300 ha (jumlah petani kelapa 80%, dan yang menjadikan kelapa butiran sebagai produk utamanya 44%).   
Faktor lain yang sangat penting dalam pengembangan industri sabut rakyat ini adalah jaminan pemasaran produk sabut yang dihasilkan mengingat pada umumnya tidak ada pasar lokal atau konsumen sabut kelapa yang dekat dengan lokasi industri ini.
Hasil kajian mengenai industri pengolahan produk samping kelapa menunjukkan bahwa industri sabut, arang, dan nata de coco yang telah dilakukan oleh petani dengan penerapan teknologi sederhana, layak secara finansial, dengan B/C ratio 1,11 – 3,58 dan IRR 23 – 76%. Hasil analisis sensitivitas industri sabut
menunjukkan kapasitas berjalan minimal 1.090 butir/hari, yang berarti untuk menjalankan satu unit pengolahan sabut diperlukan bahan baku sebanyak 1.090 butir/hari. Oleh karena itu penempatan industri pengolahan sabut perlu mempertimbangkan ketersediaan kebun kelapa yang mampu menyediakan bahan baku tersebut secara kontinu. Kontinuitas ketersediaan bahan baku tersebut juga berpengaruh terhadap harga bahan baku. Harga maksimal untuk dapat menjalankan industri sabut secara kontinu adalah Rp 75,-/kg. Pada tingkat harga di atas harga tersebut, industri pengolahan sabut tidak layak dilaksanakan. Dari sisi harga produk, tingkat harga minimal yang masih layak untuk industri sabut adalah Rp 750,-/kg. Rendahnya akses pasar yang menyebabkan biaya transportasi relatif tinggi sering menyebabkan tingkat harga yang diterima petani jauh di bawah harga pasar, merupakan disinsentif bagi pelaku industri ini.
Aspek teknis alat pengolah sangat menentukan kualitas hasil olahan. Yang banyak terjadi, kualitas serat sabut yang dihasilkan oleh industri rakyat tidak sesuai dengan standar kualitas yang diminta oleh konsumen, dan hal ini dijadikan alasan oleh calon pembeli untuk menentukan harga dan bahkan menolak membeli
produk yang sudah dihasilkan petani. Oleh karena itu pembinaan dan pengawasan terhadap produsen alat pengolah juga mutlak perlu mendapat perhatian dinas perindustrian setempat.
Untuk pengolahan sabut pengembangannya diarahkan kepada petani yang memproduksi kelapa butiran sebagai hasil utamanya, dengan luasan wilayah tidak kurang dari 300 ha, dengan infrastruktur yang baik untuk menunjang kelancaran transportasi bahan baku.  Di dalam pengolahan sabut, kegiatan ini harus dipadukan dengan pengolahan debu sabut menjadi kompos yang teknologinya sederhana, sehingga diperoleh pendapatan tambahan. Sebagai gambaran satu ton serat sabut yang dihasilkan, terdapat lebih kurang 1,8 ton debu sabut. Harga debu sabut Rp. 400,- 
Pengolahan Tempurung
Hampir 60% butir kelapa yang dihasilkan dikonsumsi dalam bentuk kelapa segar, di mana sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Ini berarti tempurung sisa berada di sekitar pasar sebagai limbah pasar. Untuk memproduksi 1 kg arang dari tempurung diperlukan tempurung dari 10 butir kelapa. Kalau satu drum untuk pengolahan tempurung kapasitasnya 100 pasang tempurung (100 butir) kelapa. Maka untuk membakar tempurung yang berasal dari penduduk sekitar pasar sebanyak 200.000 penduduk, sejumlah 1.200.000 butir (konsumsi 6 butir/kapita),  diperlukan drum pembakar sebanyak 144 buah/tahun. Jumlah ini akan menghasilkan 120 ton arang per tahun. Seperti halnya industri sabut, industri arang tempurung yang ada di daerah sentra produksi kelapa juga layak secara finansial. Hasil analisis sensitivitas industri ini menunjukkan harga minimal arang Rp 352,5/kg dandibutuhkan kebun kelapa penyedia bahan baku seluas minimal 0,8 ha atau setara dengan 80 tanaman kelapa. Skala tersebut nampaknya tidak terlalu sulit dicapai, akan tetapi peluang pasar produk arang tempurung relatif kecil, sehingga untuk pengembangan industri ini perlu memperhatikan keseimbangan penawaran dan permintaan pasar secara cermat.
Pengembangan pengolahan arang dari tempurung lokasinya  harus berada di sekitar pasar tradisional, agar tidak jauh dari sumber bahan baku. Kendala dalam pengolahan arang tempurung dari limbah pasar ini adalah kondisi tempurung yang tidak utuh. Kebiasan masyarakat terutama di Jawa, memarut kelapa dilakukan setelah daging buah dipisah dengan tempurungnya. Cara pengupasan daging buah dengan tempurung adalah dengan melepas tempurung sedikit demi sedikit, sehingga tempurung menjadi kepingan-kepingan kecil.
Bentuk ini kurang memenuhi syarat untuk pembuatan arang. Kebiasan ini perlu diubah dengan cara pemarutan kelapa seperti di Sumatera, dimana pemarutan daging kelapa dilakukan pada kondisi daging dan tempurung masih bersatu, cara ini menyisakan tempurung yang utuh.
Selama ini industri pengolahan arang aktif di dalam negeri kurang berkembang. Ekspor dilakukan dalam bentuk arang tempurung oleh pengusaha menengah dengan melakukan sortasi arang yang diperoleh dari masyarakat. Hal ini menyebabkan nilai tambah yang diperoleh sangat rendah, dibandingkan jika mengolah arang sampai menjadi arang aktif; nilai tambahnya dapat mencapai lebih dari 300%.  
Pengolahan Air Kelapa
Sekitar 40% butir kelapa yang dihasilkan diolah menjadi kopra (5 milyar butir/tahun), dan hasil samping yang tersisa dari pengolahan kopra adalah air kelapa, karena sabut dan tempurungnya dibakar untuk pengasapan kopra. Banyaknya jumlah air kelapa yang didapat, barangkali tidak perlu diolah semua.
Jumlah pengolahan air kelapa menjadi nata de coco sangat ditentukan oleh perkembangan jumlah konsumsi yang mungkin terjadi. Persaingan di segmen minuman ini sangat tinggi, karena banyaknya macam dan merek yang beredar saat ini. Sementara penampilan nata de coco sejak awal sampai sekarang tidak mengalami perubahan. Oleh sebab itu di daerah yang akan dikembangkan pengolahan nata de coco perlu dilakukan survei pasar terlebih dahulu. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh perusahaan menengah dan besar.
Dalam pengembangan industri nata de coco di tingkat petani, di samping kelayakan finansial, hal yang perlu lebih dipertimbangkan adalah kepercayaan konsumen dan keterandalan jaringan pemasaran produk yang dihasilkan. Industri nata de coco yang ada di tingkat petani umumnya dalam skala kecil dengan jangkauan pasar lokal di sekitar lokasi usaha. Mengingat konsumen nata de coco adalah konsumen akhir, maka kepercayaan konsumen terhadap merk dagang sangat menentukan keberhasilan penjualan produk yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan pembinaan kemitraan antara petani dengan pengusaha besar atau menengah yang telah memiliki merk dagang terpercaya untuk memasarkan produk petani. Untuk pengolahan air kelapa, pembinaan sebaiknya dilakukan melalui pelatihan-pelatihan untuk mendapatkan nata de coco yang sehat dan higienis. Nata de coco yang diproduksi petani dijual ke pabrikmenengah atau besar untuk mengolahnya dan memackingnya menjadi bentuk yang menarik. Dapat juga dalam pemasarannya, nata de coco dicampur dengan bahan atau makanan lain. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh pengusaha menengah dan besar.

KESIMPULAN
Pengolahan hasil samping buah kelapa harus memperhitungkan ketersediaan pasokan bahan baku dan kesesuaian jenis agroindustri yang dikembangkan. Pengolahan sabut kelapa dapat diikuti dengan pengolahan arang tempurung, sedangkan pengolahan nata de coco dapat diikuti dengan pengolahan kopra. Hal ini karena umumnya bahan bakar pada pengolahan kopra memakai sabut dan tempurung kelapa untuk mengurangi biaya.
Pengolahan sabut dan arang tempurung harus disesuaikan dengan luasan lahan kelapa. Untuk kapasitas alat 1.500 butir kelapa minimal pasokan bahan baku berasal dari kebun kelapa seluas 55 ha/unit pengolahan sabut atau sekitar 5.500 tanaman menghasilkan, sedangkan pengolahan kopra dan nata de coco harus dibarengi dengan luasan lahan kelapa minimal 5 ha atau sekitar 500 tanaman menghasilkan, per unit pengolahan kopra kapasitas satu kwintal. Untuk menjamin pemasaran produk perlu dibangun kerjasama pemasaran antara agro-industri rakyat dengan industri sedang atau besar dalam menunjang pembangunan agroin-dustri kelapa, sedangkan untuk meminimalisasi biaya produksi dari produk yang dikembangkan, lokasi pengembangan sebaiknya diarahkan mendekati sumber bahan baku, namun demikian harus dipilih lokasi yang sudah ditunjang oleh infrastruktur yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A., S. Friyatno, Supadi dan A. Askin. 2003. Analisis pengembangan agro-industri komoditas perkebunan rakyat (kopi dan kelapa) dalam mendukung peningkatan daya saing sektor pertanian. Makalah Seminar Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. T.A. 2003. 38 hal
Allorerung, D., dan A. Lay. 1998. Kemungkinan pengembangan pengolahan buah kelapa secara terpadu skala pedesaan. Prosiding Konperensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung 21 – 23 April 1998 Pp.327 – 340.
Anonim. 2000. Hasil pengkajian sabut kelapa sebagai hasil samping. Bank Indonesia Jakarta. 15 hal.
APCC. 2000. Coconut statistical yearbook 1999. Asia Pacific Coconut Community. 
_____. 2001. Coconut statistical yearbook 2000. Asia Pacipic Coconut Community. 
_____. 2003. Coconut statistical yearbook 2002. Asia Pacipic Coconut Community. 
BNI 1946. 1990. Kebutuhan oleokimia dunia. Majalah Tinjauan Ekonomi  151.
BPS. 2002. Statistik industri besar dan sedang. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Ditjenbun. 2002. Statistik perkebunan indonesia 2000 – 2002. Kelapa. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Jakarta. 57 hal.
Ibnusantoso, G. 2001. Prospek dan potensi kelapa rakyat dalam meningkatkan ekonomi petani Indonesia. Dirjen Industri Agro dan Hasil Hutan. Dept. Perindag.
Disampaikan pada Pekan Perkelapaan Rakyat. 5 Nopember 2001 di Riau.
Istina. I.N., Kardiyono, Umar, dan A. Aris. 2003. Pemanfaatan limbah sabut kelapa dalam usahatani padi pasang surut. Kelem-bagaan Perkelapaan di Era Otanomi Daerah. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan 22 – 24 Oktoner 2002. Pp.160 – 165.

repost : http://www.blogster.com/thewaste-gold/prospek-pengolahan-hasil-samping-buah-kelapa

0 komentar:

Posting Komentar